Mei 15, 2011

Liontin Hijau Tosca

Seperti biasa aku berjalan melalui pasar setiap pulang sekolah. Angin malam menerpa wajahku, jempol kakiku serasa beku walaupun terselimuti sepatu baru bagusku. Gak nurut gue dibilangin bawa jaket sama ibu, pikirku. Sepanjang masa SMA, ini sejarahku pulang begitu larut. Padahal jam tangan baru menunjukkan pukul 19.30 tapi entah kenapa ini terasa begitu malam. Memang sial dapat tanggung jawab besar untuk kegiatan amal minggu depan. Seminggu ini mungkin aku akan selalu pulang larut, mau bagaimana lagi, ini tanggung jawabku sebagai ketua pelaksana. Harus datang paling pagi, dan pulang paling larut. Untungnya sekolahku begitu dekat dari rumah, tinggal berjalan kaki tidak sampai 1 km. Sialnya, aku harus melewati pasar. Mulanya aku tidak ingin melewati pasar di malam hari begini, dan ingin naik angkutan umum saja, tetapi tubuhku menolak. Naik angkutan umum butuh waktu sangat lama karena jalannya memutar, belum lagi kalau angkutan umum yang aku naiki ngetem. Aku sudah terlalu lemas dan lapar. Biarlah berjalan sedikit. Yang penting cepat sampai.
Di depan komplek, tinggal 5 meter lagi dari rumahku, aku berpapasan dengan seorang wanita. Terlihat familiar. Siapa ya? Wanita itu hanya terlihat seperti siluet dari tempatku berdiri, ia datang dari arah berlawanan. Tak tok tak tok  bahkan suara dari high heels-nya begitu familiar. Semakin lama semakin dekat. IBU! Ya tuhan, pantas saja terlihat begitu familiar, itu ibu. Aku pun memanggilnya.
Ibu menoleh dan bertanya, “Arina, kok baru pulang?”
“Biasalah itu acara amal, ketua pelaksana gituloh hehe” jawabku ringan.
“Yasudah, masuk yuk” ajak ibu.
Sesampainya di rumah ibu langsung bertanya macam-macam. Sudahkah aku makan, tadi di sekolah ada pengumuman apa, di sekolah tadi ada ulangan apa dan nilainya berapa, rapat bazar amal membicarakan apa saja, menasihati agar besok aku membawa jaket dan mengomentari sikapku sebagai pemimpin untuk bazar amal ini. Pertanyaan yang selalu sama sejak aku mulai bersekolah di sekolah dasar. Sesudahnya ibu segera naik ke lantai atas.
Eni (e dibaca seperti pada kata pecah), nenekku, segera keluar dari kamar, masih mengenakan mukena sehabis shalat Isya. “Aduh anak gadis baru pulang jam segini! Kenapa sms Eni ga dibalas, Arin!” Eni bicara dengan nada agak tinggi.
“Hah sms apa? Si Eni mah pasti salah sms lagi geura” jawabku. Eni baru mengenal handphone, baru belajar mengirim pesan singkat. Selalu salah tekan nomor.
“Yasudahlah nanti jika pulang malam telpon Eni dulu ya, Eni khawatir ini. Itu kalau mau mandi sudah ada air hangatnya, kalau mau makan juga sudah ada ambil sendiri ya”
Aku pun diam di depan televisi, melepas penat. Masih mengenakan seragam, aku melihat acara di televisi sejenak. Banyak acara yang semakin tidak jelas saja. Ibu turun dari tangga sambil mengaplikasikan susu pembersih pada wajahnya yang bermake-up.
“Cepat mandi nanti masuk angin susah lagi. Dengerin ibu, kamu dipilih sebagai ketua pelaksana bazar amal minggu depan. 3 minggu lagi kamu ada konser. Ini konsekuensi dari semua yang sudah kamu pilih. Satu, ibu tidak mau dapat laporan penurunan nilai. Dua, ibu tidak mau kamu sakit. Tiga, ibu mau semua kegiatan kamu berjalan lancar. Buktikan sama semua orang, anak ibu itu hebat dan bisa diandalkan. Ya?” Suara ibu terdengar begitu serius.
Eni keluar lagi dari kamar dan duduk di karpet dibawah sofa yang sedang kutempati. Eni memindahkan channel televisi dan menggantinya dengan sinetron yang ratingnya sedang menanjak itu.
Aku segera mandi dan merasa sangat segar setelahnya. Aku memainkan blackberry-ku sejenak sambil meregangkan tubuh di tempat tidur. Ketika kudengar derap langkah ibu menaiki tangga, aku segera melompat ke meja belajar dan membereskan buku. Untung ga ketauan tadi lagi mainin bb, pikirku lega. Begitu masuk kamar, ibu langsung merebahkan diri di tempat tidur dan menatap langit-langit.
“Tadi ibu dimarahi lagi sama Ibu Ros.” Ucap ibu singkat.
Ibu Ros adalah bos ibu di kantor, dia sudah menjadi sumber penderitaan ibu selama 3 tahun kebelakang. Dulu ibu sangat bahagia di kantor, dengan teman-teman yang menyenangkan. Walaupun gaji ibu sebagai pegawai di bank swasta tidak seberapa, tetapi ibu terlihat menikmati pekerjaannya. 3 tahun lalu, bank tempat ibu bekerja merger dengan bank asing. Bos lama ibu memilih keluar. Semua karyawan pun boleh memilih, bisa tinggal atau mengundurkan diri dengan diberi pesangon yang sepadan. Ibu memilih tinggal. Ibu berpikir dengan uang 80 juta, berapa lama kami bisa bertahan hidup? Sementara lapangan pekerjaan semakin sempit. Ibu tidak menamatkan kuliah karena masalah biaya. Pasti sulit mencari kerja di masa seperti ini tanpa embel-embel sarjana di belakang namamu.  Lebih baik aku tinggal dan mempertahankan pekerjaanku, pikir ibu saat itu. Bos baru ibu, Ibu Ros namanya. Ia orang yang sangat sarkastis dan juga dingin. Ia begitu membenci ibu, dia pikir ibuku hanyalah seorang janda, single-parent, tidak berpendidikan, tidak berkecukupan, bahkan tidak layak dipandang.
Ibuku tidak seperti itu. Sakit hati sekali dengan segala cerita ibu. Ibu Ros memperlakukan ibu dengan tidak adil. Ibuku orang yang sangat giat bekerja, memperlakukan bawahannya dengan baik, kerjasamanya sempurna, ia pemimpin yang baik, sabar, murah senyum, juga cerdas. Ibuku hanya tidak menyandang gelar sarjana. Ibuku wanita yang sangat cantik, usianya baru 36 tahun dan sudah memiliki anak di bangku SMA. Wajahnya terlihat seperti seorang mahasiswa berusia 23 tahun. Kadang aku iri dengan ibu, aku juga tidak jelek, tetapi tidak secantik ibu. Aku mewarisi matanya yang besar dan rambutnya yang cokelat, juga gaya bicara yang nyerocos dan pola pikir kami pun serupa. Tetapi sisanya, aku benar-benar anak ayahku.
“Ibu Ros agak keterlaluan kali ini, ia memarahi aku depan semua nasabah! Padahal aku tidak melakukan kesalahan apapun. Kesalahan ada pada back office tapi...” suara ibu terputus seperti hendak menangis. Ia menghela napas panjang, “Kalau bukan demi kamu, ibu udah keluar dari kantor itu sejak dulu. Makanya kamu tau kan keterbatasan ibu dalam membiayai kamu, kamu harus lebih dari anak yang lainnya! Kamu tidak bisa bimbel de, kamu harus belajar sendiri. Kalau masih tidak bisa, tanya teman kamu. Tanya teman yang baik dan tidak pelit ilmu. Coba kamu belajar bareng sama Fera, atau sama Susan. Mereka kan pintar-pintar”
Aku hanya menatap ibu dari meja belajarku. Aku tidak ingin mengatakan apapun dan tidak tahu akan berkata apa. Aku hanya diam dan mengangguk-angguk dan memutar kembali kursi belajar menghadap meja. Kembali belajar.
Selama belajar, pikiranku berkecamuk. Kalau sudah begini biasanya aku menyalahkan bapak. Semua kesalahan ada pada bapak, dia yang menelantarkan kami. Ibuku sangat cantik, wanita karir, punya uang saku sendiri, begitu setia dan tidak banyak menuntut pada suaminya. Aku, aku anak yang baik dan tidak pernah macam-macam, rajin belajar, terhitung sangat rajin, kini aku bersekolah di sekolah terbaik di kotaku. Aku anak yang menyenangkan, rajin beribadah, bukan gayaku melawan orangtua, aku tidak pernah meminta barang-barang mahal ataupun pakaian-pakaian branded. Tapi bagaimana bisa bapak dengan seenaknya menelantarkan kami?


“Arina pergi ya bu, mau cari properti buat bazar amal, ke pasar cina, sama Dewa, naik motor, pulang sore. Mau ke rumah Mitha juga, ada rapat panitia inti.” pamitku pada ibu. Pamit pada ibu harus jelas, daripada ditanya-tanya, aku lebih baik memberi info selengkapnya di awal.
Aku berdandan seperti biasa, blouse agak longgar dengan rok lebar favoritku. Wedges biru kesayangan pun telah siap dan tas slempang berisi blackberry, sejumlah uang, sisir, dan face paper telah kusandang. Bunyi klakson motor Dewa sudah terdengar dan aku segera berlari keluar. Sahabat terbaikku, Dewa sudah menunggu di depan pagar, ia masuk dan salam pada ibu.
Dewa sudah bersahabat denganku sejak SMP. Aku begitu dekat dengannya. Kami bersekolah di SMA yang sama, sekelas, sebangku, satu ekskul, dan kami sama-sama punya jabatan penting di OSIS. Semua orang menyangka kami lebih dari teman, tapi sebenarnya tidak pernah lebih dari itu. Aku menatap motor Dewa dan menghela napas. Motor ini lagi, pikirku. Kesal betul aku pada motor ini, aku tidak mengerti ini motor jenis apa, tetapi sejak dulu aku selalu kesulitan menaiki motor ini.
Dewa menunggu di atas motor dan membuka helm. “Ih apa lihat-lihat? Kok ga naik-naik sih? Lama.” Gerutunya. Aku diam saja sambil merengut. Seolah membaca raut wajahku, ia berkata “Hahaha, nona cantik, pasti susah ya naik motorku? Setiap aku bawa motor ini pasti kamu pakai rok. Sini aku bantuin” Dewa mengulurkan tangan. Dengan wajah cemberut, aku menyambut uluran tangannya. “Kenapa sih ga pake motormu yang matic aja, motor ini tuh nyiksa cewe tau” cetusku. “Motor ini larinya lebih kenceng dari matic cuuy, jangan manja dong ini motor kan keren”. Hhhh, aku memutar bola mata. “Yaudah cepat keburu siang nih”.


Pasar ini agak lengang, daya tariknya sedang menurun. Barang-barang antik yang memang tidak mengundang pembeli. Pasar cina ini sudah berdiri sejak dulu sekali, ibu sering bercerita ia dan teman SMA-nya sering mencari barang murah disini dulu. Tempat ini tidak hanya menjual barang-barang berbau cina, pokoknya semua yang tradisional ada disini. Tema bazar amal kali ini “Jelajahi Indonesiamu” maka kami mencari barang-barang tradisional Indonesia.
Ketika turun dari motor, wedges-ku menginjak selokan yang tertutup rumput sehingga kakiku masuk ke selokan dengan kondisi terlipat. “Aw!” jeritku. Untung saja tanganku masih di pundak Dewa, ia masih sempat menahanku. Ia turun dari motor dengan panik, “Kenapa kenapa?” serbunya. “Ini nih ada selokan ketutupan rumput, terkilir gue.. Sakit banget nih” aku meringis kesakitan. “Aduh si teteh ya dasar ke pasar pake heels, sini biar aku bantu” “Ini bukan heels, Wa. Ini namanya wedges.” “Yaaa, whatever. itu bikin lo terkilir kan. Biar gue yang cari barang-barangnya lo duduk aja di kantin situ. Mana daftar belanjaannya?” Aku menyerahkan secarik kertas, berisi daftar barang-barang yang harus dicari. “Wa, ditawar ya nanti harganya. Jangan mau terlalu mahal. Disitu gue udah tulis harga kira-kira bisa segimana. Kalau bisa tawar lebih murah, tawar pokoknya harus dapet semurah mungkin ya.”
Lama-lama bosan juga aku menunggu. Aku curiga Dewa mengalami kesulitan dalam menawar harga. Satu setengah jam sudah aku duduk diam disini. Sudah beberapa kali ku PING bbm milik Dewa tak dibalas juga. 3 gelas jus jeruk sudah kutenggak, kakiku pun sudah baikan setelah kupijat-pijat. Bisa bulukan gue disini, mending gue jalan-jalan deh, pikirku. Aku mengirim sms pada Dewa, berkata aku akan jalan-jalan sebentar, jika sudah selesai berbelanja telpon saja aku, begitu bunyi smsku.
Sambil berjalan, aku berpikir tentang ibu. Betapa aku ingin membantu ibu merubah segalanya. Aku ingin ibu kuliah, menyandang embel-embel sarjana itu, dan hidup lebih baik. Kadang aku berpikir, jika aku tidak ada, mungkin uang ibu bisa ia gunakan untuk bersenang-senang. Tapi nasi sudah menjadi bubur, sekarang hidup sudah begini. Kita tidak bisa meminta nasi, makanlah saja buburnya. Walaupun tidak suka bubur, hanya bubur yang ada. Suara pelan mengejutkanku, suara yang datang dari salah satu kios di samping kananku.
“Kembali ke masa lalu, datang ke masa depan. Ketahui masa lalumu, perbaiki masa depanmu. Hidup lebih baik dengan sebuah alat pemutar waktu” seorang ibu muda cantik bermata biru menatapku. Seolah membaca pikiranku. Ibu ini terlihat seperti orang gipsi, dengan rambut ikal yang lebat. Kulit kecoklatan, pakaian serba longgar, rok gipsi lebar dan wajah dengan garis yang tegas. Wajahku pasti penuh tanda tanya, aku tersenyum dengan mimik penasaran. “A..apa, bu? Maaf, ibu bicara pada saya?” Alih-alih menjawab pertanyaanku, ibu ini hanya mengulurkan sebuah liontin hijau tosca. “Hanya 25000 saja, sayang. Usaplah liontin ini ketika kamu akan tidur, dan besok ketika kamu membuka pintu, kamu akan tiba di masa yang lain.” Jawab ibu itu dengan senyum manis. “Ibu bercanda?” jawabku dengan sedikit geli. Takhayul konyol di abad 21. Mana mungkin waktu diulang, celaku dalam hati. “Tidak sayang. Kamu tidak pernah tahu seberapa besar pengaruh sebuah benda kecil dalam hidupmu.” Aku masih saja tidak percaya, tetapi aku diam disitu seperti terhipnotis. “Kamu bisa kembali pada masa kini, sayang. Kamu punya 5 kali kesempatan pergi ke masa lalu dan masa depan. Jika kamu ingin pergi ke masa kini, kamu hanya perlu cari aku disini, dan aku akan membawamu ke masa kini.” Aku hanya tersenyum dan menyentuh liontin itu.
“Arin! Kok lo disini? Udah gue bilang lo tunggu di kantin. Kaki lo gapapa?” Dewa. Dewa terlihat khawatir dan berjongkok memperhatikan kakiku.
“Dewa? Engga, gue gapapa. Beneran udah bisa jalan kok, gue...” omonganku terputus.
“Dewa, kamu pasti pacarnya Arin ya? Daritadi dia menatap liontin yang saya jual, sepertinya ia ingin sekali membelinya lho. Kenapa tidak kamu belikan?” tanya ibu bermata biru dengan nada merayu.
“Liontin...apa? Ini? Lo mau, Rin? Biar gue beliin, gue ga kasih lo kado di ultah lo kemarin. Berapa bu harganya?” tanya Dewa sumringah.
Engga, ih, engga ga usah Wa! Gue beli sendiri saja!” cegahku.
Dewa membayar liontin itu dan ibu bermata biru memasukannya pada sebuah kotak. Dewa tidak menghiraukanku. Ini terlihat seperti persekongkolan, pikirku geram.
“Ter-lam-bat. Nih bawa. Makasih ya bu, semoga laris liontin lainnya” ucap Dewa sambil menarik tanganku kembali ke tempat parkiran.
“Ibu tadi misterius loh, Wa. Aneh” ceritaku pada Dewa.
“Misterius bagimana? Cantik bangetlah matanya indah.”
“Dia... eh, mungkin cuma perasaan gue doang
Sembari menyerahkan helm padaku, Dewa berkata, “Rin, lo pake ya liontin itu pas bazar amal. Mungkin ini terakhir kali kita siapin acara sama-sama, gue pengen lo terlihat cantik dengan barang pemberian gue.” Ucap Dewa dengan senyum manisnya. Dewa akan pergi ke Jerman untuk melanjutkan sekolahnya, mengambil jurusan teknik mesin. Aku akan sangat kehilangan sahabat terbaikku.
“Pasti  dipakai kok, mana mungkin ga pakai barang pemberian sahabat yang ganteng ini, hahaha jangan ngapung ya! Menurut firasat gue, liontin ini bakal bawa perubahan besar dalam kehidupan gue.”


Malam bazar amal pun tiba. Aku memutuskan untuk tidur lebih cepat. Ibu sudah tertidur pulas dan mewanti-wanti aku untuk tidur sebelum pukul 11 malam. Aku menyiapkan apa yang akan aku kenakan besok. Pilihanku jatuh pada kemeja putih dengan renda pada kerahnya, juga rok batik panjang hingga mata kaki. Rok batik ini juga kesayanganku, berwarna biru tua, batik cirebon. Sayangnya aku jarang menggunakan rok ini untuk acara sekolah, karena dengan sangat kebetulan guru kimia di sekolah punya rok yang sama dengan warna merah. Aku tidak mau pakai baju kembar dengan seorang guru kolot, bisa-bisa mati gaya di depan Abi, ketua OSIS sekaligus mantan pacarku. Aku selalu menjaga image sempurnaku dihadapannya.
Tanganku menyenggol sebuah kotak dari lemari dan isinya jatuh. Liontin pemberian Dewa. Liontin hijau tosca dari pasar cina. Aku baru ingat akan janjiku mengenakan liontin ini pada Dewa. Keberangkatan Dewa tinggal sebulan lagi, aku ingin tampil seperti yang Dewa inginkan. Aku pun mengganti pilihan bajuku dengan yang lebih casual dan santai. Aku memilih kaus putih polos dengan celana pendek batik yang juga dibelikan Dewa saat Tour Budaya ke Jogjakarta. Liontin itupun tak terlupa, juga sneakers hijau kado pemberian dari ibu tahun lalu. Dewa akan suka, pikirku. Setelah semua siap, aku merayap ke tempat tidur di sebelah ibu dan segera tertidur lelap.

Capek sekali hari ini! Untung Dewa mengantarku, kakiku terasa akan lepas dari tempatnya. Aku takkan sanggup berjalan. Tapi aku sangat bahagia karena bazar amal kali ini berhasil sangat gemilang. Kepala Sekolah memuji hasil kerjaku, dan aku sangat bangga akan hal itu.
BRUGH. Suara tas dilempar ke kasur mengejutkanku. Aku ketiduran tanpa mengganti baju, bahkan masih dengan sneakers hijauku. Ibu pulang dan terlihat seperti habis menangis. Ia lupa akan acara bazar amalku hari ini.
“I...ibu... disuruh kuliah lagi sama kantor. Ibu terancam dikeluarkan kapan saja. Tapi ibu tidak punya biaya untuk kuliah, ibu saja tidak tahu bagaimana untuk kuliahmu”
Nyawaku yang belum terkumpul semua masih menyusun potongan memori. Ibu bercerita panjang lebar hingga akhirnya ia ketiduran. Aku tidak kuat lagi, aku harus melakukan sesuatu. Ketika aku membuka kausku saat hendak mandi, aku merasakan liontin itu. Kembali ke masa lalu. Mungkin ada sesuatu yang bisa kuubah di masa itu.
Sambil merebahkan tubuhku di kasur, aku mengusap liontin itu dan berkata “Liontin, bawa aku ke masa lalu. Bawa aku ke masa SMA ibuku” setelahnya aku mengirim pesan singkat pada Dewa, wish me luck, begitu isinya. Dan aku pun tidur dalam pelukan ibu.


GREK! Kubuka pintu kamarku dengan mata setengah tertutup. Ketika mataku mulai melihat dengan jelas, kulihat tempat yang asing dimataku. Tempat apa ini? Rumah siapa ini? Sebuah rumah megah berdiri di depan mataku. Pagarnya bergerak, terbuka. Sebuah mobil dengan style jadul keluar dari rumah itu. Pengemudinya masih mengenakan seragam SMA dan ketika kulihat wajahnya, BAPAK! Kuikuti mobil yang berjalan lambat itu. Yang lucu, entah bagaimana, kini aku mengenakan baju SMA. Dengan badge nama Arina D. F dan lokasi sekolah SMAN 77 Bandung. Tempat sekolah ibu dan bapak dulu. Aku merasa aneh. Hingga tiba-tiba mobil bapak menepi dan ia menurunkan jendela. “Eh, anak 77 juga? berangkat bareng aja, kamu kelihatan bingung” Aku kaget bukan main, wajah bapak terlihat begitu segar, muda, dan ramah. Aku mau saja dan duduk di sebelah bapak.
“Nama kamu siapa, kelas berapa? Aku Reza. Kelas 3 IPA 4.” Tanya bapak.
“Sa..ya.. Arina pak. Eh maksud saya, Za. Em, saya...”  Mati! Jawab apa gue! Bapak pasti turunin gue dipinggir jalan disangka orang gila kalo gue bilang gue ini anaknya di masa depan!
“Oh, Arina? Beruntung aku bisa ketemu duluan sama si anak baru, hahaha. Kita sekelas kok. Nanti bareng aja ya. Ga usah kaku gitu, nanti lama-lama kita pasti dekat. Kamu harus tau ya hari ini kita ada pelajaran fisika si sial itu, dan aku ga belajar loh. Emang kampret tuh guru, ulangan nggak jelas. Jadi males kan aku” ternyata bapak adalah remaja seperti ini. Ketika bapak menyalakan rokok, aku segera tahu bahwa jika aku seusia dengan bapak, bapak adalah tipe pria yang takkan pernah kulirik. Anak berandalan yang berpikir mereka adalah yang paling keren di sekolah. Tipe yang tidak memikirkan esok. Mereka pikir semua wanita akan bersujud menyembah mereka, mereka pikir wanita akan mati jika mereka tinggalkan. Bapak remaja seperti ini.
Setibanya di gerbang sekolah, bapak menyuruhku turun. Tampak seorang perempuan cantik, berpenampilan tomboy dengan rambut berantakan menuruni angkutan umum.
“Eh! Kamu lihat disitu? Itu cewe namanya Gita. Aku sudah ngeceng si Gita dari dulu, kamu turun duluan pokoknya jangan sampai kelihatan Gita kalau kita datang bareng. Kelas kita dekat kantin, kamu pasti bisa cari sendiri”
Gita, itu ibu! Betapa cantik ibu ketika SMA. Ibu terlihat begitu sederhana. Sampai sekarang tidak banyak berubah. Ternyata sejak dulu ibu memang tidak memperhatikan penampilan. Tetapi ibu begitu cantik! Aku bagaikan inti bumi dan langit ketujuh jika dibandingkan dengan ibu. She’s just so perfect. Pantas bapak begitu tergila-gila.
Kelas kami masih sepi. Ibu menghampiriku.
“Kamu Arina kan? Aku Gita, semoga kita bisa jadi teman baik ya! Selamat datang di IPA 4.” Sapa ibu.
Bapak memperhatikan kami yang mulai mengobrol akrab. Bapak duduk di meja di depan kami.
“Lagi ngomongin apa kalian? Eh Git, papa baru balik dari Jepang. Kamu bilang ingin punya kimono kan? Nanti aku mintain satu dari jatah kakak. Dia pasti dapat paling sedikit tiga tuh”
“Makasih loh Za, tapi nggak usah. Masa aku ambil jatah kakakmu terus sih, aku ga enak lama-lama. Kemarin papanya Reza pulang dari Prancis juga aku dikasih parfum coba Rin, kan aku jadi malu. Kali ini gak usah, makasih”


Sudah cukup pengamatanku kali ini. Aku ingin kembali ke masa-ku. Ke tahun tempatku hidup. Aku melihat sinar mata ibu ketika menatap bapak. Ibu dan bapak saling mencintai. Tetapi jika terus dilanjutkan, ini tidak akan berhasil. Orangtua bapak tidak meyukai keluarga ibu yang miskin. Lagipula jika ibu menikah dengan bapak, mimpi ibu menjadi penari akan berhenti disini. Bapak pun tidak akan sempat mengubah kepribadiannya. Aku harus hentikan. Sepulang sekolah, aku menghampiri ibu.
“Git, kamu mau anter aku ke pasar cina gak? Tanteku bilang pasar cina disini barang-barangnya oke. Mau cari pajangan buat di kontrakan baru, hehe.” Aku berbicara melantur. Jelas-jelas aku tidak punya tante dan sudah jelas aku tidak mengontrak rumah.
“Oh boleh. Aku antar, dekat kok dari sini. Jalan kaki juga sampai. Nanti aku bantu menawar harga. Aku jago, lho.”
Setibanya di pasar cina, aku menyuruh ibu membeli minuman. Lalu aku bertanya pada seorang tukang sapu. “Bu, apakah kenal dengan dengan penjual liontin semacam ini? Ibu-ibu dengan mata biru, mirip orang gipsi” tukang sapu ini rupanya mengenalnya dan mengantarku ke tempat ibu itu.
Ibu bermata biru yang sama. Tidak lebih muda, tidak lebih tua. Persis seperti yang aku lihat saat pergi bersama Dewa. Ia menatapku manis. “Kamu datang, Arina. Ingin kembali ya, ayo kemari.” Ibu itu menyuruhku mendekat dan memejamkan mata. Ia menggenggam tanganku erat. Ketika aku membuka mata, aku berada di kamarku. Duduk di kursi belajarku. Dengan liontin hijau tosca di genggaman.

Aku jalani hari-hari seperti biasa, sudah kuputuskan sesuatu dalam hati. Aku sudah punya rencana untuk kembali ke masa lalu dan merubah segalanya. Aku  memutuskan untuk tinggal di masa ini satu minggu, dan kembali ke masa lalu. Aku bermanja-manja pada ibu. Aku melakukan segala pekerjaanku dengan baik dan lebih sering memeluk ibu. Aku mengibaratkan ini adalah minggu-minggu terakhirku di dunia.
Aku sering mengundang Dewa main kerumah, aku juga ingin menghabiskan waktu dengannya. Kami mengobrol hingga larut malam. Ibu menyuruh Dewa menginap saja di lantai atas, dan orangtua Dewa mengizinkan. Jadilah kami mengobrol hingga subuh. Kami berjalan mengelilingi kota keesokan harinya. Kami pergi ke sebuah kawasan yang sangat indah. Kami menghabiskan waktu disana, seharian.
“Rin, kita kan sudah lulus SMA. Lo tau kan gue bakal pergi ke Jerman. Gue udah kenal lo sejak kelas 7, I know you so well, inside and out. Gue baru sadar, orang yang bakal gue rindukan di Jerman nanti cuma lo, orang yang paling gue sayang. Lebih daripada teman. Intinya Rin, please ikut gue ke Jerman."
Aku tersentak. Aku tidak pernah menyangka ini perasaan Dewa padaku yang sebenarnya. Aku pun menceritakan pada Dewa tentang semua rencanaku pada masa lalu ibu.
Gue ga bisa ikut, Wa. Sekarang fokus gue untuk mewujudkan mimpi ibu. Gue bakal rubah masa lalu, lo ga akan kehilangan gue kok. Sekarang kita pulang yuk.” Ajakku.


Aku telah kembali ke masa lalu. Aku kini berdiri di sudut kelas. Ibu berlari menghampiriku.
“Arina! Kamu lihat ini Rin?” ibu menyodorkan sebuah kartu undangan besar. Setelah kubaca, itu undangan dari Ketua Pagelaran Seni di Bandung, meminta ibu untuk menjadi penari di komunitas itu dan tampil pada Pagelaran Seni 1992. Ini sering ibu ceritakan padaku. kesempatan emas yang ibu lewatkan, ibu sering bercerita betapa dia begitu menyesal.  “Keren GITA! Kamu harus bersiap-siap, acara ini akan dihadiri Gubernur! Dan kamu akan dapat beasiswa seni tari di Italia!” seruku bersemangat.
“Kamu harus tahu Rin. Ibu gak izinkan aku menari di acara ini. Sebelum meninggal, ayahku berpesan pada ibu, jangan pernah biarkan aku menari lagi.” Ucap Gita pelan, nyaris menangis. Aku memeluk Gita dan menyemangatinya. Ternyata disini aku harus bergerak.
“Gita kamu dengar kata-kataku. Ini mimpimu, bukan mimpi orangtuamu. Kamu yang tentuin kamu bakal jadi apa. Aku jauh lebih tau dari kamu, dan aku serius, aku sudah lihat masa depanmu. Kamu sekarang mulai latihan, dan tampil di acara itu. Penyesalan datang di akhir, kamu bakal menyesal kalo gak ambil kesempatan ini. Hidumu bakal hancur berakhir sebagai pegawai swasta yang dicemooh bos kamu. Gak mau kan? Kamu bakal jadi penari besar, kalau kamu ambil kesempatan ini”
Ini lucu, aku menasihati ibu. Ibu mendengarnya dan ibu setuju untuk menari pada acara itu, tidak peduli apa yang Eni katakan.
Ketika waktu istirahat tiba, bapak menghampiriku dengan lesu.
“Aku disuruh sekolah sama papa. Kamu bayangkan, ke Inggris. Jauh banget dari sini. Padahal rencanaku hanya kuliah bentar dan kerja di bank, gampang lah kan papa punya jabatan yang penting di perbankan negara. Aku tinggal nyelip aja di bank mana yang aku suka, dan aku ada rencana ngelamar Gita setelah lulus SMA.”
Aku menasihati bapak juga. “Za, menurutku, lebih baik kamu ambil kesempatan ini. Kamu tahu berapa ribu orang di negara ini yang ingin kuliah ke luar negeri tapi terhalang biaya? Asal kamu tau, Gita bakal kuliah ke Italia. Dengar aku. Kalau kamu cuma kerja di bank milik papa, kamu ga bakal berkembang. Kamu pergi ke Inggris. Balik lagi ke Indonesia saat kamu sudah jadi lulusan yang luar biasa, cari uang yang banyak. Cari Gita, lamar Gita. Saat itu, kamu dan Gita bakal jadi pasangan yang sempurna. Pasangan sempurna yang dirancang oleh surga.”
Bapak mendengarkan kata-kataku dengan serius. Syukurlah, aku kira bapak akan menertawakanku.


Sepertinya ibu tidak bisa melihatku. Baguslah, biar aku tidak terlihat. Ibu begitu cantik dan menari dengan cantik pula. Betapa bangga aku menjadi seorang Arina. Orang yang telah menjadi sahabat ibu pada masa SMA-nya. Dan juga pernah menjadi anaknya.
Bapak pun terlihat begitu gagah dengan setelan jasnya. Ia menjadi seorang pengusaha ternama. Aku memperhatikan bapak dan ibu duduk berdampingan dalam acara talkshow ini. Betapa sempurna bapak dan ibu kelihatannya, semoga bapak tidak mengulangi kesalahan yang sama.
“Hanya satu orang di dunia ini yang ingin kami ucapkan terimakasih sebesar-besarnya. Arina. Seorang siswi SMA 77 Bandung, ia sekelas dengan kami di kelas 3. Dia yang memaksa aku mengikuti Pagelaran Seni 1992 sehingga aku meraih beasiswa sekolah tari ke Italia dan menjadi seperti sekarang. Motivasi darinya yang mampu membuatku menentang ibu untuk meraih mimpiku. Arina seorang anak baru, hanya muncul 2 minggu di dalam kelasku, dia menghilang entah kemana setelah Pagelaran Seni itu. Arina, dimanapun kamu berada, aku harap kamu melihat acara ini dan menghubungi aku. Ada satu hal yang aku janjikan padamu, anak perempuan kami, akan aku beri nama Arina.”
“Ya, Arina juga yang telah memaksa aku untuk pergi sekolah ke Inggris seperti perintah papa. Jika tidak ada Arina, pasti sekarang aku tetap menjadi anak manja mengandalkan orangtuaku. Hari-hari di Inggris begitu berat, tetapi setiap kali teringat kata-kata Arina pada hari terakhir aku bertemu dengannya, aku pasti jauh lebih bersemangat. Dia orang yang memotivasi aku dengan cara yang tepat, mengiming-imingi aku dengan kata-kata ‘Gita dan kamu akan jadi pasangan sempurna yang dirancang oleh surga, jika kamu pergi ke Inggris dan menjadi orang yang berhasil’ hanya itu yang selalu aku ingat selama kuliahku di Jerman. Aku berharap kami memiliki anak seperti dia. Memotivasi orang lain dan selalu kami banggakan.”
Aku disini ibu, bapak. Kalian hanya tidak bisa melihatku. Syukurlah kini kalian hidup bahagia dengan kisah yang semestinya.


Biar saja aku tidak pernah dilahirkan, asalkan bapak dan ibu menggapai mimpinya, agar mereka hidup bahagia selamanya. Dewa di masa ini baru berusia 11 tahun, baru masuk SMP dan tidak ada aku disana. Dia tidak akan pernah mengenalku dan tidak pula perlu merasa kehilangan aku nantinya. Aku ingin ada di tengah mereka semua, merasa bahagia juga. ingin tetap menjadi anak bapak dan ibu, anak dari pasangan yang berbahagia. Aku tidak bisa lagi memeluk ibu, tidak bisa bertemu bapak. Tetapi apa lagi yang bisa kulakukan selain mengorbankan hidupku? Aku ingin hidup bersama Dewa, tetapi orangtuaku adalah yang terpenting diatas segalanya. Aku bahagia pernah hidup di antara kalian semua. Terimakasih Dewa, liontin kecil pemberianmu merubah hidupku selamanya.

Mei 05, 2011

Pelangi Untuk Langit

Desas-desus hilangnya langit dengan cepat menyebar ke seantero sekolah. Beberapa bertanya-tanya kemanakah perginya Langit. Beberapa tidak peduli, biar saja anak angkuh itu menghilang, kata mereka. Beberapa orang sedih dan sangat berduka  -terutama siswi- atas hilangnya Pangeran SMA Satelit. Guru-guru pun tentunya kehilangan siswa berprestasi itu, terlebih lagi keluarga Langit adalah penyumbang dana terbesar di sekolah SMA Satelit.

Terlahir dari keluarga kaya raya, putra tunggal pemimpin Negeri Tata Surya, Raja Awan Cerah dan Ratu Matahari Menyinari. Langit Senja sudah dipastikan akan menjadi penerus kerajaan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Tata Surya Bab V Pasal 24 ayat 3 yang menyatakan bahwa:

“Penerus kerajaan haruslah putra kandung dari seorang raja yang bijaksana dan suka menabung, dan terlahir dari seorang ibu WNI, tidak pernah menerima kewarganegaraan lain, berusia diatas 18 tahun dan berpenampilan menarik juga mengikuti pelatihan olimpiade astronomi di sekolahnya”.

Pada Pasal 24 Ayat 4, disebutkan juga bahwa:

“Jika raja memiliki 2 anak atau lebih, akan diadakan pertandingan memetik bintang. Pertandingan dilakukan di pagi hari pada pukul 5 setelah ayam berkokok. Peserta diberi waktu 1 jam untuk memetik bintang. Barangsiapa yang dapat menemukan bintang dan membawanya ke hadapan Menteri, akan menjadi Raja setelah bintang itu diverifikasi dan dinyatakan bahwa bintang itu adalah bintang sungguhan dan/atau bukan imitasi.”

Dengan semua persyaratan ini, tentulah Pangeran Langit Senja akan secara resmi menjadi Bakal Calon Raja di usianya yang ke-18 dan menjadi raja sungguhan ketika ayahanda tercintanya meninggal dunia. Mungkin karena gelar Pangeran-Yang-Akan-Mutlak-Menjadi-Raja ini, ia bertingkah sombong dan angkuh dari luar. Padahal tidak ada yang mengetahui bahwa itu hanya untuk menjaga citra seorang pangeran, di dalam hatinya ia tetap anak yang unyu dan rajin beribadah. Itulah mengapa guru-guru begitu kehilangan, karena para guru tahu bahwa Langit sebenarnya anak yang menyenangkan. Hanya saja ia sedikit introvert dan anti sosial, itu semua hanya demi menjaga citra seorang pangeran.

Setiap kali ia melewati koridor sekolah yang gelap dan suram, lorong itu berubah menjadi bersinar bagaikan diterangi ribuan bintang gemerlap yang menyilaukan mata. Semua mata tertuju padanya bagaikan tertuju pada seorang Puteri Indonesia. Wajahnya bagaikan langit di bulan Juli, cerah dan indah. Walaupun kini musim sudah tidak tentu, tetapi Juli tetap menyenangkan karena waktu liburan tiba. Semua siswi refleks berjajar membentuk formasi dan menari seperti ketika akan menonton Dahsyat, menatap Langit tanpa berkedip. Dengan sifatnya yang angkuh, tentu ia akan terus berjalan tanpa mengindahkan sekitarnya. Mungkin sambil memainkan iPhone atau iPad atau iPod atau iP yang lainnya. Meskipun begitu, semua siswi tetap memandangi wajahnya dengan takjub. Ketenaran Langit telah tersebar ke seluruh penjuru negeri, bahkan seluruh dunia, dan bahkan mungkin seluruh galaksi bimasakti. Ia mengalahkan ketampanan Pak Prabu dalam Putri yang Ditukar yang telah memenangkan Panasonic Gobel Award. Ketampanan Langit memang luar biasa walaupun belum menandingi Nabi Yusuf, Subhanallah.

“Langit ganteng banget sich!!!! Morgan SM*SH udah gak jaman, sekarang LANGITBLAST dong!! ” jerit seorang siswi alay.

“AAAAAA wajah Langit mengalihkan duniaku” pekik yang lainnya.

Tapi seperti biasa di dalam sinetron, entah seperti BBF atau Meteor Garden. Pasti ada seorang wanita yang samasekali tidak tertarik pada Langit, dan Langit menyukainya.  Langit mengejarnya, dan wanita itu semakin jauh. Tapi akhirnya tertangkap, dan...ah, itu terlalu klise. Kisah Langit bukanlah kisah biasa.
Wanita ini tidak tertarik pada Langit, ia mengakui ketampanan Langit, tapi tidak sedikitpun ingin memujanya. Wanita ini bernama Pelangi Pagi, puteri bungsu dari Menteri Keamanan dan Pertahanan Negara. Sejak kecil Pelangi telah terlatih menjadi seorang pendekar wanita. Ia terlihat anggun, cantik, dan bertubuh mungil. Padahal ia seorang wanita kuat yang sangat jago berperang. Teman sekolahnya tiada yang tahu, bahwa sebenarnya setiap kali Negeri Tata Surya berperang, Pelangi Pagi-lah pemimpinnya. Setiap kali diwawancarai oleh TV atau TaRya Infotainment mengenai perang, ia berdandan seperti laki-laki dan mengenakan penutup wajah. Nama samarannya adalah Jupiter. Ia memilih nama itu karena planet Jupiter adalah planet terbesar di tata surya. Ia ingin suatu hari ia menjadi seseorang yang besar namanya, bukan sebagai Jupiter tetapi sebagai Pelangi Pagi.

Tentu saja hanya orang-orang yang duduk di bangku pemerintahan yang mengetahui perihal penyamaran Pelangi. Begitu pula Raja Awan Cerah, ayahanda Langit. Dengan begitu, hanya Langit yang mengetahui ini semua diantara semua warga SMA Satelit. Langit dan Pelangi telah dekat sejak kecil dan bersahabat baik. Mereka terlihat sering duduk berdua, membaca buku di perpustakaan atau semacam itu. Seluruh siswa menganggap mereka sepasang kekasih. Mereka sangat cocok bersama, pasangan sempurna yang khusus dirancang oleh surga. Tapi tiada ketertarikan diantara mereka, obrolan mereka hanya obrolan khas petinggi negara, basa-basi yang lain di mulut lain di hati. Meskipun demikian, Langit dan Pelangi telah bermain bersama sejak kecil, dan mereka sangat dekat.

Dan kini Langit hilang. Terakhir kali, pegawai istana melihat Langit pulang dari sekolah dan menutup pintu kamarnya pada pukul 13.37. Seperti biasa para dayang tidak berani menyapa, mereka hanya menunggu di luar kamar Langit untuk menunggu pesanan makan siang sang pangeran. Sore telah tiba tetapi Langit belum juga menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Dayang senior mengetuk pintu dan tidak ada jawaban. Atas izin asisten pangeran, dayang setuju untuk membuka pintu kamar secara paksa. Sangat mengejutkan, Langit tiada didalamnya. Hanya tertulis pada secarik kertas “Aku tidak ingin dicari”.

Tanpa berlaku seperti ini pun, Langit adalah sosok yang misterius. Terlebih dengan teka-teki ini, mengapa dan kemana ia kabur.

Berita itu menyebar cepat dan sampai pula di telinga Pelangi. Entah mengapa Pelangi begitu panik dan menelpon ayahnya. Ayahnya memang ditugaskan oleh Raja Awan Cerah untuk mengerahkan pasukan mencari Langit. Seperti biasa, Pelangi ditugaskan menjadi pemimpin dalam pencarian “Langit yang Hilang”.  Untuk memulai pencarian, ia terpaksa harus menanggalkan identitasnya sebagai Pelangi. Ia pun berpura-pura jatuh pingsan dan ia dibawa pulang ke rumah. Ia segera mengganti penampilan dan memainkan perannya sebagai Jupiter.

Semua orang menaruh harapan besar pada Jupiter. Dan sepertinya ini bukan perkara sulit bagi Jupiter. Saat kamera TV menyorotnya, matanya terlihat berkilat dan walaupun mulutnya tertutup cadar hitam, semua orang dapat melihat seringainya.

Pluto, kuda tergagah di seantero negeri, berderap kencang. Penunggangnya begitu serius dan menatap jauh ke depan. Seakan mengerti isi hati Jupiter, ia mempercepat irama derap larinya, tetapi tetap waspada. Jupiter tidak membawa banyak pasukan. Hanya 4 orang panglima perang yang paling ia percaya. Saturnus, Merkurius, Uranus dan Neptunus. Belakangan ini Bumi jarang ikut ekspedisi, mungkin sakit, pengaruh global warming.

Mereka mencari ke atas, bawah, kanan, kiri, depan, belakang, tempat yang dingin, panas, luas, sempit, pengap, hingga mungkin ke ujung dunia tetapi tidak ada jejak langit. 1 hari telah terlewati tanpa ada tanda-tanda apapun.

Malam harinya, harinya Jupiter menerima e-mail dari sang ayah.                                                       
“Nak, dimana posisimu? Ayah akan kirimkan buku harian Langit, mungkin dapat membantumu. Menetaplah dulu di satu tempat. Agar tidak mencurigakan, akan ayah kirimkan atas nama Saturnus. Berhati-hatilah, doaku bersamamu.”

Pasukan kecil itupun menginap di sebuah motel kecil dan kumuh, karena mereka begitu kotor serta bau, pemilik motel tidak sadar bahwa mereka adalah pasukan negara. Mereka pun aman. Keesokan harinya, buku harian Langit tiba di motel. Sekali lagi pemilik motel tidak curiga karena dikirim atas nama Saturnus, ia tidak begitu terkenal, dan kertas pembungkusnya pun lusuh, jelek. Dibayar pun sepertinya ia takkan percaya itu bingkisan dari istana.

Pelangi langsung membuka bungkus lusuh itu, dan membuka halaman. Begitu terharunya ia, ketika melihat tulisan tangan Langit. Ia tidak pernah menyangka, tulisan tangan Langit begitu cantik. Seperti anak perempuan. Ia sangat kagum, sangat sangat kagum, pada tulisan “Milik Langit, Pangeran Langit Senja” yang tertera di halaman paling depan.

“Begitu indah, halaman pertama saja sudah memukau. Aku takkan pernah bisa menulis buku harian serapi ini.” Gumamnya dalam hati.

Dibukanya halaman berikutnya, betapa kagetnya ia ketika di halaman pertama, terdapat fotonya bersama Pangeran ketika mereka masih kecil.

“Fotoku? Kenapa aku?” Ia bertanya-tanya, masih dalam hati.

Halaman berikutnya, Langit menulis banyak hal tentang kesehariannya, kepribadiannya, pokoknya semua tentangnya. Pelangi sangat terkejut, begitu lembut hati Langit, tidak seperti yang selama ini ia bayangkan.
Buku harian itu cukup tebal, dimulai dari ketika Langit masuk SMP, dan kini ia telah berada di kelas 11. 4 tahun sudah Langit menulis buku harian. Jika Pelangi membacanya satu per satu, bulan depan baru selesai membaca, sangat membuang waktu. Ia bergegas ke halaman terakhir. 3 menit kurang ia membaca halaman itu, ia menangis haru. Tidak menyangka akan seperti itu, sedalam itu. Tidak menghabiskan banyak waktu, ia bersiap dan berlari keluar motel, menunggangi Pluto. Ia meninggalkan secarik kertas di meja kamar,

Kalian pulanglah ke kerajaan, aku akan mencari Langit sendiri. Aku berjanji akan pulang dalam 3 hari, tidak akan lebih tapi bisa kurang. Sampaikan pada orang di kerajaan, jangan cari aku jika ingin Langit kembali.
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Pelangi masih ingat hari itu, hari dimana ia menari dalam pernikahan Bulan Sabit, putera dari Menteri Ketampanan, di balik salah satu gunung bersalju di negeri ini. Menurut kepercayaan, semua petinggi negara dan anak-anaknya haruslah menikah di balik gunung bersalju, agar janji setia sang pengantin membeku dan tak dapat pecah untuk selamanya.

Ia menari untuk pertama kalinya, merasa canggung dan kikuk. Tidak biasanya Pelangi memakai pakaian seanggun ini. Oh please, aku terbiasa menggunakan pakaian perang, gerutunya dalam hati. Tiba-tiba dari kerumunan, datang sang sahabat, Langit. Ia mendekat dan bertanya mengapa Pelangi begitu suram. Pelangi mulai menggerutu karena merasa tidak nyaman dan tidak cantik, merasa tidak pantas dengan semua dandanan ini. Langit tidak berkomentar, hanya senyum simpul yang menandakan “Memang kamu tidak pantas” yang meruntuhkan semangat Pelangi. Sebelum menghilang Langit berkata, “Semangatlah, kamu nggak seburuk itu kok.” Hanya kata-kata itu, tetapi Pelangi sangat bersemangat dan menari dengan cantik.

Keesokan harinya, Langit mengirimi Pelangi sebuah cermin. Dengan secarik kertas bertuliskan
“Bercerminlah dan kamu akan tahu.”
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pelangi tiba. Gunung ini bersalju, tidak mungkin Pluto ia bawa serta. Lebih baik ia berjalan untuk tiba ke balik gunung ini. Ia menitipkan Pluto pada seorang kakek yang memiliki rumah di kaki gunung bersalju, dan berjanji akan kembali secepatnya.

Sudah berjam-jam Pelangi mendaki gunung tanpa lelah, ia yakin akan segera tiba. Aku akan segera tiba di balik gunung ini, di sebrang sana, sugesti itu terus ia berikan pada pikiran dan tubuhnya.  Kakinya mulai lemas dan beku, hingga akhirnya dia tiba di gerbang pembatas gunung. Setelah melalui gerbang ini, ia akan tiba di balik gunung. Tetapi ia baru mengetahui, bahwa untuk memasuki gerbang ini, ia harus mengucapkan kalimat-kalimat gombal. Dan peraturannya, kalimat ini harus buatan sendiri, jika gombalan telah dipakai orang lain untuk menggombal sebelumnya, gerbang takkan terbuka.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Langit Senja. Berdiri dan bacakan apa yang kamu buat.” panggil Ibu Bintang, guru sastra.

Seandainya sejarah memiliki bab khusus yang membahas tentang ‘KAMU’ pastilah aku ini seorang sejarawan. Karena ‘KAMU’lah sejarah terindah dalam hidupku.

Beberapa siswi berteriak pelan dan dengan greget menjerit-jerit sok imut.

“Sekarang giliranmu, Pelangi Pagi”

Cintaku padamu bagaikan sisi pada lingkaran, tidak berhingga.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ah, kelas sastra sangat membantuku. Jika tidak ada kelas sastra, aku akan membeku disini memikirkan gombalan apa yang harus aku ucapkan, pikir Pelangi.

Ia pun membisikkan gombalan yang mendapat nilai A itu, tetapi tiba-tiba tulisan merah dan berkedip-kedip mengejutkannya. ERROR!! Begitu bunyi tulisan besar itu.

“APA? Error? Siapa yang berani......menyebalkan sekali!!! Aku harus punya hak cipta untuk semua kata-kata gombalku. Sekarang apa yang harus aku ucapkan, aku harus masuk!” gerutunya.

Tiba-tiba terlintas sebuah ide, dan ia pun membisikkan gombalan itu ke sisi gerbang, dan seketika gerbang terbuka. Ia disambut udara segar yang sangat berbeda dari udara dingin kering yang ia rasakan di puncak gunung bersalju tadi. Pemandangannya pun luar biasa indah. Perpaduan sempurna empat musim yang menenangkan.

Beberapa gadis kecil berlari-lari gembira di sekitar sebuah pohon dan Pelangi mendekati mereka.

“Pangeran di rumah kayu kak, yang diatas pohon itu. Sudah 2 hari tidak turun-turun sejak ia sampai. Hanya mamaku membawa makanan untuknya, sisanya tidak ada yang pergi naik kesana.”
Rumah kayu, tempatku merenung setiap kali disuruh menari untuk sebuah pernikahan, kenang Pelangi. Ia bergegas menuju rumah itu. Ketika tiba, dilihatnya Langit memojok di ruang kecil itu. Menulis sesuatu pada buku yang terlihat tua.

“Pasti kamu membaca buku harianku?” tanya Langit tiba-tiba.
“Aku kira kamu tidak menyadari kehadiranku, Lang”
“Jangan alihkan pembicaraan”
“Iya aku baca buku itu, aku tahu maksudmu, makanya aku mencari kesini, aku...”
“Kamu baca semuanya? Berarti sekarang kamu tahu perasaanku”
“Aku nggak sangka sampai seperti itu.. Aku minta maaf kalau memang itu maksudmu, aku nggak tau, Lang maafkan aku”
“Oke. Sekarang jawab apa yang aku tanya minggu lalu”
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Perlukah aku lepaskan status “Pangeran” ini untuk meluluhkan hati Pelangi? Maafkan aku, dengan gelar ini aku tak bisa jadi seperti yang dia inginkan. Aku terlalu dingin dan angkuh dimatanya. Aku pikir ia bisa melihatku yang sesungguhnya tapi ternyata tidak. Entah canda atau apa yang tadi kau ucapkan padaku, Pelangi. Mengapa harus kau katakan hal itu. Takkan pernah kulupakan kata-kata itu. “Mana mau kuhabiskan hidupku dengan Pangeran dingin sepertimu, Lang”
Dengan sifatmu yang lucu dan ceria tentu takkan pernah kamu melirik laki-laki seperti aku. Maaf, Pelangi Pagi-ku. Aku telah terkondisi menjadi seperti ini, bukan mauku. Mungkin aku takkan pernah bisa menjadi seperti yang kau minta, tetapi aku selalu bersedia.
Pelangi tidakkah kau tahu bahwa aku begitu mencintaimu, tak pernah kulewatkan namamu dalam setiap doaku. Aku selalu memohon bahagiamu. Sejak kecil kita selalu bersama, tidakkah kau lihat kesungguhanku? Di matamu aku hanyalah seorang teman, dan selalu seperti itu. Kamu tidak pernah tahu.
Terkadang ingin aku tinggalkan saja dunia ini, agar kamu tahu rasanya merindukan aku. Tetapi aku tidak bisa, jika nanti kamu merindukan aku, lalu apa? Tidak ada sisi romantisnya sedikitpun, tidak perlu aku mati konyol. Aku akan pergi ke tempat dimana pertama kalinya aku melihatmu sebagai seorang gadis yang cantik. Bukan hanya sebagai seorang Pelangi yang ceria atau Jupiter yang tangguh. Agar memori cantiknya Pelangi membeku di pikiranku, agar aku bisa tetap menunggu sampai Pelangi datang mencariku.
Jika Pelangi benar merindukan aku, dia akan mencariku. Dan dia akan tahu kemana harus mencari.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Jawab aku dulu, Langit. Sepanjang perjalanan kemari aku merenungi beberapa hal. Yang paling mengusikku adalah cermin ini. Mengapa cermin? Mengapa kamu memintaku bercermin?”
“Agar kamu tahu betapa cantiknya dirimu. Aku curiga kamu tidak diberi cermin dirumah sehingga tidak pernah percaya diri akan kecantikanmu. Maafkan aku, aku tak terbiasa mengucapkan hal-hal macam itu, aku tidak bisa. Jadi aku hanya bisa mengirimimu barang tidak jelas dengan pesan-pesan yang rancu. Maaf” jawab Langit perlahan.
“Mengapa kamu gunakan kata-kata gombalku untuk membuka gerbang ini?”
“Kamu begitu jarang mengucapkan kata-kata manis. Ketika di kelas sastra, kamu begitu manis mengucapkan kata-kata itu sehingga ketika dituntut memberi kata-kata gombal, aku hanya mengingat kata-katamu”
“Dulu, kamu berkata Papa dan Mama memberiku nama dengan tepat. Apa maksudmu?”
“Pelangi itu indah. Kamu itu indah. Sesuatu yang indah terbit setelah sesuatu yang suram seperti hujan. Tidak mudah tersenyum setelah tangis, itu membutuhkan kekuatan. Pelangi butuh kekuatan untuk menghilangkan semua suram. Kamu adalah Pelangi yang kuat, gadis terkuat yang pernah aku temui. Dan aku berharap aku bisa menjadi Langit yang tepat untuk menaungimu, aku berharap kau mencoret hidupku dengan warna-warni pelangi yang indah.”
Pelangi pagi tersentak, begitu manisnya Langit. Tidak pernah ia sangka Langit begitu memperhatikan dia. Dari hal terkecil, Langit begitu memperhatikan. Kebiasaan Pelangi, Langit benar-benar hafal seperti itu semua adalah kebiasaannya sendiri. Pelangi baru menyadari. Ia menyesal telah berkata kasar pada Langit ketika Langit menyatakan cintanya.
“Langit, kamu ingin jawaban? Aku jawab sekarang. Ya.”
-----------------------------------------------------------------------------------------------------

MILIK LANGIT, PANGERAN LANGIT SENJA.
Buku harian baru, menandakan awal hidupku yang baru, karena mulai hari ini aku tahu, Pelangi mencintai aku.