Mei 15, 2011

Liontin Hijau Tosca

Seperti biasa aku berjalan melalui pasar setiap pulang sekolah. Angin malam menerpa wajahku, jempol kakiku serasa beku walaupun terselimuti sepatu baru bagusku. Gak nurut gue dibilangin bawa jaket sama ibu, pikirku. Sepanjang masa SMA, ini sejarahku pulang begitu larut. Padahal jam tangan baru menunjukkan pukul 19.30 tapi entah kenapa ini terasa begitu malam. Memang sial dapat tanggung jawab besar untuk kegiatan amal minggu depan. Seminggu ini mungkin aku akan selalu pulang larut, mau bagaimana lagi, ini tanggung jawabku sebagai ketua pelaksana. Harus datang paling pagi, dan pulang paling larut. Untungnya sekolahku begitu dekat dari rumah, tinggal berjalan kaki tidak sampai 1 km. Sialnya, aku harus melewati pasar. Mulanya aku tidak ingin melewati pasar di malam hari begini, dan ingin naik angkutan umum saja, tetapi tubuhku menolak. Naik angkutan umum butuh waktu sangat lama karena jalannya memutar, belum lagi kalau angkutan umum yang aku naiki ngetem. Aku sudah terlalu lemas dan lapar. Biarlah berjalan sedikit. Yang penting cepat sampai.
Di depan komplek, tinggal 5 meter lagi dari rumahku, aku berpapasan dengan seorang wanita. Terlihat familiar. Siapa ya? Wanita itu hanya terlihat seperti siluet dari tempatku berdiri, ia datang dari arah berlawanan. Tak tok tak tok  bahkan suara dari high heels-nya begitu familiar. Semakin lama semakin dekat. IBU! Ya tuhan, pantas saja terlihat begitu familiar, itu ibu. Aku pun memanggilnya.
Ibu menoleh dan bertanya, “Arina, kok baru pulang?”
“Biasalah itu acara amal, ketua pelaksana gituloh hehe” jawabku ringan.
“Yasudah, masuk yuk” ajak ibu.
Sesampainya di rumah ibu langsung bertanya macam-macam. Sudahkah aku makan, tadi di sekolah ada pengumuman apa, di sekolah tadi ada ulangan apa dan nilainya berapa, rapat bazar amal membicarakan apa saja, menasihati agar besok aku membawa jaket dan mengomentari sikapku sebagai pemimpin untuk bazar amal ini. Pertanyaan yang selalu sama sejak aku mulai bersekolah di sekolah dasar. Sesudahnya ibu segera naik ke lantai atas.
Eni (e dibaca seperti pada kata pecah), nenekku, segera keluar dari kamar, masih mengenakan mukena sehabis shalat Isya. “Aduh anak gadis baru pulang jam segini! Kenapa sms Eni ga dibalas, Arin!” Eni bicara dengan nada agak tinggi.
“Hah sms apa? Si Eni mah pasti salah sms lagi geura” jawabku. Eni baru mengenal handphone, baru belajar mengirim pesan singkat. Selalu salah tekan nomor.
“Yasudahlah nanti jika pulang malam telpon Eni dulu ya, Eni khawatir ini. Itu kalau mau mandi sudah ada air hangatnya, kalau mau makan juga sudah ada ambil sendiri ya”
Aku pun diam di depan televisi, melepas penat. Masih mengenakan seragam, aku melihat acara di televisi sejenak. Banyak acara yang semakin tidak jelas saja. Ibu turun dari tangga sambil mengaplikasikan susu pembersih pada wajahnya yang bermake-up.
“Cepat mandi nanti masuk angin susah lagi. Dengerin ibu, kamu dipilih sebagai ketua pelaksana bazar amal minggu depan. 3 minggu lagi kamu ada konser. Ini konsekuensi dari semua yang sudah kamu pilih. Satu, ibu tidak mau dapat laporan penurunan nilai. Dua, ibu tidak mau kamu sakit. Tiga, ibu mau semua kegiatan kamu berjalan lancar. Buktikan sama semua orang, anak ibu itu hebat dan bisa diandalkan. Ya?” Suara ibu terdengar begitu serius.
Eni keluar lagi dari kamar dan duduk di karpet dibawah sofa yang sedang kutempati. Eni memindahkan channel televisi dan menggantinya dengan sinetron yang ratingnya sedang menanjak itu.
Aku segera mandi dan merasa sangat segar setelahnya. Aku memainkan blackberry-ku sejenak sambil meregangkan tubuh di tempat tidur. Ketika kudengar derap langkah ibu menaiki tangga, aku segera melompat ke meja belajar dan membereskan buku. Untung ga ketauan tadi lagi mainin bb, pikirku lega. Begitu masuk kamar, ibu langsung merebahkan diri di tempat tidur dan menatap langit-langit.
“Tadi ibu dimarahi lagi sama Ibu Ros.” Ucap ibu singkat.
Ibu Ros adalah bos ibu di kantor, dia sudah menjadi sumber penderitaan ibu selama 3 tahun kebelakang. Dulu ibu sangat bahagia di kantor, dengan teman-teman yang menyenangkan. Walaupun gaji ibu sebagai pegawai di bank swasta tidak seberapa, tetapi ibu terlihat menikmati pekerjaannya. 3 tahun lalu, bank tempat ibu bekerja merger dengan bank asing. Bos lama ibu memilih keluar. Semua karyawan pun boleh memilih, bisa tinggal atau mengundurkan diri dengan diberi pesangon yang sepadan. Ibu memilih tinggal. Ibu berpikir dengan uang 80 juta, berapa lama kami bisa bertahan hidup? Sementara lapangan pekerjaan semakin sempit. Ibu tidak menamatkan kuliah karena masalah biaya. Pasti sulit mencari kerja di masa seperti ini tanpa embel-embel sarjana di belakang namamu.  Lebih baik aku tinggal dan mempertahankan pekerjaanku, pikir ibu saat itu. Bos baru ibu, Ibu Ros namanya. Ia orang yang sangat sarkastis dan juga dingin. Ia begitu membenci ibu, dia pikir ibuku hanyalah seorang janda, single-parent, tidak berpendidikan, tidak berkecukupan, bahkan tidak layak dipandang.
Ibuku tidak seperti itu. Sakit hati sekali dengan segala cerita ibu. Ibu Ros memperlakukan ibu dengan tidak adil. Ibuku orang yang sangat giat bekerja, memperlakukan bawahannya dengan baik, kerjasamanya sempurna, ia pemimpin yang baik, sabar, murah senyum, juga cerdas. Ibuku hanya tidak menyandang gelar sarjana. Ibuku wanita yang sangat cantik, usianya baru 36 tahun dan sudah memiliki anak di bangku SMA. Wajahnya terlihat seperti seorang mahasiswa berusia 23 tahun. Kadang aku iri dengan ibu, aku juga tidak jelek, tetapi tidak secantik ibu. Aku mewarisi matanya yang besar dan rambutnya yang cokelat, juga gaya bicara yang nyerocos dan pola pikir kami pun serupa. Tetapi sisanya, aku benar-benar anak ayahku.
“Ibu Ros agak keterlaluan kali ini, ia memarahi aku depan semua nasabah! Padahal aku tidak melakukan kesalahan apapun. Kesalahan ada pada back office tapi...” suara ibu terputus seperti hendak menangis. Ia menghela napas panjang, “Kalau bukan demi kamu, ibu udah keluar dari kantor itu sejak dulu. Makanya kamu tau kan keterbatasan ibu dalam membiayai kamu, kamu harus lebih dari anak yang lainnya! Kamu tidak bisa bimbel de, kamu harus belajar sendiri. Kalau masih tidak bisa, tanya teman kamu. Tanya teman yang baik dan tidak pelit ilmu. Coba kamu belajar bareng sama Fera, atau sama Susan. Mereka kan pintar-pintar”
Aku hanya menatap ibu dari meja belajarku. Aku tidak ingin mengatakan apapun dan tidak tahu akan berkata apa. Aku hanya diam dan mengangguk-angguk dan memutar kembali kursi belajar menghadap meja. Kembali belajar.
Selama belajar, pikiranku berkecamuk. Kalau sudah begini biasanya aku menyalahkan bapak. Semua kesalahan ada pada bapak, dia yang menelantarkan kami. Ibuku sangat cantik, wanita karir, punya uang saku sendiri, begitu setia dan tidak banyak menuntut pada suaminya. Aku, aku anak yang baik dan tidak pernah macam-macam, rajin belajar, terhitung sangat rajin, kini aku bersekolah di sekolah terbaik di kotaku. Aku anak yang menyenangkan, rajin beribadah, bukan gayaku melawan orangtua, aku tidak pernah meminta barang-barang mahal ataupun pakaian-pakaian branded. Tapi bagaimana bisa bapak dengan seenaknya menelantarkan kami?


“Arina pergi ya bu, mau cari properti buat bazar amal, ke pasar cina, sama Dewa, naik motor, pulang sore. Mau ke rumah Mitha juga, ada rapat panitia inti.” pamitku pada ibu. Pamit pada ibu harus jelas, daripada ditanya-tanya, aku lebih baik memberi info selengkapnya di awal.
Aku berdandan seperti biasa, blouse agak longgar dengan rok lebar favoritku. Wedges biru kesayangan pun telah siap dan tas slempang berisi blackberry, sejumlah uang, sisir, dan face paper telah kusandang. Bunyi klakson motor Dewa sudah terdengar dan aku segera berlari keluar. Sahabat terbaikku, Dewa sudah menunggu di depan pagar, ia masuk dan salam pada ibu.
Dewa sudah bersahabat denganku sejak SMP. Aku begitu dekat dengannya. Kami bersekolah di SMA yang sama, sekelas, sebangku, satu ekskul, dan kami sama-sama punya jabatan penting di OSIS. Semua orang menyangka kami lebih dari teman, tapi sebenarnya tidak pernah lebih dari itu. Aku menatap motor Dewa dan menghela napas. Motor ini lagi, pikirku. Kesal betul aku pada motor ini, aku tidak mengerti ini motor jenis apa, tetapi sejak dulu aku selalu kesulitan menaiki motor ini.
Dewa menunggu di atas motor dan membuka helm. “Ih apa lihat-lihat? Kok ga naik-naik sih? Lama.” Gerutunya. Aku diam saja sambil merengut. Seolah membaca raut wajahku, ia berkata “Hahaha, nona cantik, pasti susah ya naik motorku? Setiap aku bawa motor ini pasti kamu pakai rok. Sini aku bantuin” Dewa mengulurkan tangan. Dengan wajah cemberut, aku menyambut uluran tangannya. “Kenapa sih ga pake motormu yang matic aja, motor ini tuh nyiksa cewe tau” cetusku. “Motor ini larinya lebih kenceng dari matic cuuy, jangan manja dong ini motor kan keren”. Hhhh, aku memutar bola mata. “Yaudah cepat keburu siang nih”.


Pasar ini agak lengang, daya tariknya sedang menurun. Barang-barang antik yang memang tidak mengundang pembeli. Pasar cina ini sudah berdiri sejak dulu sekali, ibu sering bercerita ia dan teman SMA-nya sering mencari barang murah disini dulu. Tempat ini tidak hanya menjual barang-barang berbau cina, pokoknya semua yang tradisional ada disini. Tema bazar amal kali ini “Jelajahi Indonesiamu” maka kami mencari barang-barang tradisional Indonesia.
Ketika turun dari motor, wedges-ku menginjak selokan yang tertutup rumput sehingga kakiku masuk ke selokan dengan kondisi terlipat. “Aw!” jeritku. Untung saja tanganku masih di pundak Dewa, ia masih sempat menahanku. Ia turun dari motor dengan panik, “Kenapa kenapa?” serbunya. “Ini nih ada selokan ketutupan rumput, terkilir gue.. Sakit banget nih” aku meringis kesakitan. “Aduh si teteh ya dasar ke pasar pake heels, sini biar aku bantu” “Ini bukan heels, Wa. Ini namanya wedges.” “Yaaa, whatever. itu bikin lo terkilir kan. Biar gue yang cari barang-barangnya lo duduk aja di kantin situ. Mana daftar belanjaannya?” Aku menyerahkan secarik kertas, berisi daftar barang-barang yang harus dicari. “Wa, ditawar ya nanti harganya. Jangan mau terlalu mahal. Disitu gue udah tulis harga kira-kira bisa segimana. Kalau bisa tawar lebih murah, tawar pokoknya harus dapet semurah mungkin ya.”
Lama-lama bosan juga aku menunggu. Aku curiga Dewa mengalami kesulitan dalam menawar harga. Satu setengah jam sudah aku duduk diam disini. Sudah beberapa kali ku PING bbm milik Dewa tak dibalas juga. 3 gelas jus jeruk sudah kutenggak, kakiku pun sudah baikan setelah kupijat-pijat. Bisa bulukan gue disini, mending gue jalan-jalan deh, pikirku. Aku mengirim sms pada Dewa, berkata aku akan jalan-jalan sebentar, jika sudah selesai berbelanja telpon saja aku, begitu bunyi smsku.
Sambil berjalan, aku berpikir tentang ibu. Betapa aku ingin membantu ibu merubah segalanya. Aku ingin ibu kuliah, menyandang embel-embel sarjana itu, dan hidup lebih baik. Kadang aku berpikir, jika aku tidak ada, mungkin uang ibu bisa ia gunakan untuk bersenang-senang. Tapi nasi sudah menjadi bubur, sekarang hidup sudah begini. Kita tidak bisa meminta nasi, makanlah saja buburnya. Walaupun tidak suka bubur, hanya bubur yang ada. Suara pelan mengejutkanku, suara yang datang dari salah satu kios di samping kananku.
“Kembali ke masa lalu, datang ke masa depan. Ketahui masa lalumu, perbaiki masa depanmu. Hidup lebih baik dengan sebuah alat pemutar waktu” seorang ibu muda cantik bermata biru menatapku. Seolah membaca pikiranku. Ibu ini terlihat seperti orang gipsi, dengan rambut ikal yang lebat. Kulit kecoklatan, pakaian serba longgar, rok gipsi lebar dan wajah dengan garis yang tegas. Wajahku pasti penuh tanda tanya, aku tersenyum dengan mimik penasaran. “A..apa, bu? Maaf, ibu bicara pada saya?” Alih-alih menjawab pertanyaanku, ibu ini hanya mengulurkan sebuah liontin hijau tosca. “Hanya 25000 saja, sayang. Usaplah liontin ini ketika kamu akan tidur, dan besok ketika kamu membuka pintu, kamu akan tiba di masa yang lain.” Jawab ibu itu dengan senyum manis. “Ibu bercanda?” jawabku dengan sedikit geli. Takhayul konyol di abad 21. Mana mungkin waktu diulang, celaku dalam hati. “Tidak sayang. Kamu tidak pernah tahu seberapa besar pengaruh sebuah benda kecil dalam hidupmu.” Aku masih saja tidak percaya, tetapi aku diam disitu seperti terhipnotis. “Kamu bisa kembali pada masa kini, sayang. Kamu punya 5 kali kesempatan pergi ke masa lalu dan masa depan. Jika kamu ingin pergi ke masa kini, kamu hanya perlu cari aku disini, dan aku akan membawamu ke masa kini.” Aku hanya tersenyum dan menyentuh liontin itu.
“Arin! Kok lo disini? Udah gue bilang lo tunggu di kantin. Kaki lo gapapa?” Dewa. Dewa terlihat khawatir dan berjongkok memperhatikan kakiku.
“Dewa? Engga, gue gapapa. Beneran udah bisa jalan kok, gue...” omonganku terputus.
“Dewa, kamu pasti pacarnya Arin ya? Daritadi dia menatap liontin yang saya jual, sepertinya ia ingin sekali membelinya lho. Kenapa tidak kamu belikan?” tanya ibu bermata biru dengan nada merayu.
“Liontin...apa? Ini? Lo mau, Rin? Biar gue beliin, gue ga kasih lo kado di ultah lo kemarin. Berapa bu harganya?” tanya Dewa sumringah.
Engga, ih, engga ga usah Wa! Gue beli sendiri saja!” cegahku.
Dewa membayar liontin itu dan ibu bermata biru memasukannya pada sebuah kotak. Dewa tidak menghiraukanku. Ini terlihat seperti persekongkolan, pikirku geram.
“Ter-lam-bat. Nih bawa. Makasih ya bu, semoga laris liontin lainnya” ucap Dewa sambil menarik tanganku kembali ke tempat parkiran.
“Ibu tadi misterius loh, Wa. Aneh” ceritaku pada Dewa.
“Misterius bagimana? Cantik bangetlah matanya indah.”
“Dia... eh, mungkin cuma perasaan gue doang
Sembari menyerahkan helm padaku, Dewa berkata, “Rin, lo pake ya liontin itu pas bazar amal. Mungkin ini terakhir kali kita siapin acara sama-sama, gue pengen lo terlihat cantik dengan barang pemberian gue.” Ucap Dewa dengan senyum manisnya. Dewa akan pergi ke Jerman untuk melanjutkan sekolahnya, mengambil jurusan teknik mesin. Aku akan sangat kehilangan sahabat terbaikku.
“Pasti  dipakai kok, mana mungkin ga pakai barang pemberian sahabat yang ganteng ini, hahaha jangan ngapung ya! Menurut firasat gue, liontin ini bakal bawa perubahan besar dalam kehidupan gue.”


Malam bazar amal pun tiba. Aku memutuskan untuk tidur lebih cepat. Ibu sudah tertidur pulas dan mewanti-wanti aku untuk tidur sebelum pukul 11 malam. Aku menyiapkan apa yang akan aku kenakan besok. Pilihanku jatuh pada kemeja putih dengan renda pada kerahnya, juga rok batik panjang hingga mata kaki. Rok batik ini juga kesayanganku, berwarna biru tua, batik cirebon. Sayangnya aku jarang menggunakan rok ini untuk acara sekolah, karena dengan sangat kebetulan guru kimia di sekolah punya rok yang sama dengan warna merah. Aku tidak mau pakai baju kembar dengan seorang guru kolot, bisa-bisa mati gaya di depan Abi, ketua OSIS sekaligus mantan pacarku. Aku selalu menjaga image sempurnaku dihadapannya.
Tanganku menyenggol sebuah kotak dari lemari dan isinya jatuh. Liontin pemberian Dewa. Liontin hijau tosca dari pasar cina. Aku baru ingat akan janjiku mengenakan liontin ini pada Dewa. Keberangkatan Dewa tinggal sebulan lagi, aku ingin tampil seperti yang Dewa inginkan. Aku pun mengganti pilihan bajuku dengan yang lebih casual dan santai. Aku memilih kaus putih polos dengan celana pendek batik yang juga dibelikan Dewa saat Tour Budaya ke Jogjakarta. Liontin itupun tak terlupa, juga sneakers hijau kado pemberian dari ibu tahun lalu. Dewa akan suka, pikirku. Setelah semua siap, aku merayap ke tempat tidur di sebelah ibu dan segera tertidur lelap.

Capek sekali hari ini! Untung Dewa mengantarku, kakiku terasa akan lepas dari tempatnya. Aku takkan sanggup berjalan. Tapi aku sangat bahagia karena bazar amal kali ini berhasil sangat gemilang. Kepala Sekolah memuji hasil kerjaku, dan aku sangat bangga akan hal itu.
BRUGH. Suara tas dilempar ke kasur mengejutkanku. Aku ketiduran tanpa mengganti baju, bahkan masih dengan sneakers hijauku. Ibu pulang dan terlihat seperti habis menangis. Ia lupa akan acara bazar amalku hari ini.
“I...ibu... disuruh kuliah lagi sama kantor. Ibu terancam dikeluarkan kapan saja. Tapi ibu tidak punya biaya untuk kuliah, ibu saja tidak tahu bagaimana untuk kuliahmu”
Nyawaku yang belum terkumpul semua masih menyusun potongan memori. Ibu bercerita panjang lebar hingga akhirnya ia ketiduran. Aku tidak kuat lagi, aku harus melakukan sesuatu. Ketika aku membuka kausku saat hendak mandi, aku merasakan liontin itu. Kembali ke masa lalu. Mungkin ada sesuatu yang bisa kuubah di masa itu.
Sambil merebahkan tubuhku di kasur, aku mengusap liontin itu dan berkata “Liontin, bawa aku ke masa lalu. Bawa aku ke masa SMA ibuku” setelahnya aku mengirim pesan singkat pada Dewa, wish me luck, begitu isinya. Dan aku pun tidur dalam pelukan ibu.


GREK! Kubuka pintu kamarku dengan mata setengah tertutup. Ketika mataku mulai melihat dengan jelas, kulihat tempat yang asing dimataku. Tempat apa ini? Rumah siapa ini? Sebuah rumah megah berdiri di depan mataku. Pagarnya bergerak, terbuka. Sebuah mobil dengan style jadul keluar dari rumah itu. Pengemudinya masih mengenakan seragam SMA dan ketika kulihat wajahnya, BAPAK! Kuikuti mobil yang berjalan lambat itu. Yang lucu, entah bagaimana, kini aku mengenakan baju SMA. Dengan badge nama Arina D. F dan lokasi sekolah SMAN 77 Bandung. Tempat sekolah ibu dan bapak dulu. Aku merasa aneh. Hingga tiba-tiba mobil bapak menepi dan ia menurunkan jendela. “Eh, anak 77 juga? berangkat bareng aja, kamu kelihatan bingung” Aku kaget bukan main, wajah bapak terlihat begitu segar, muda, dan ramah. Aku mau saja dan duduk di sebelah bapak.
“Nama kamu siapa, kelas berapa? Aku Reza. Kelas 3 IPA 4.” Tanya bapak.
“Sa..ya.. Arina pak. Eh maksud saya, Za. Em, saya...”  Mati! Jawab apa gue! Bapak pasti turunin gue dipinggir jalan disangka orang gila kalo gue bilang gue ini anaknya di masa depan!
“Oh, Arina? Beruntung aku bisa ketemu duluan sama si anak baru, hahaha. Kita sekelas kok. Nanti bareng aja ya. Ga usah kaku gitu, nanti lama-lama kita pasti dekat. Kamu harus tau ya hari ini kita ada pelajaran fisika si sial itu, dan aku ga belajar loh. Emang kampret tuh guru, ulangan nggak jelas. Jadi males kan aku” ternyata bapak adalah remaja seperti ini. Ketika bapak menyalakan rokok, aku segera tahu bahwa jika aku seusia dengan bapak, bapak adalah tipe pria yang takkan pernah kulirik. Anak berandalan yang berpikir mereka adalah yang paling keren di sekolah. Tipe yang tidak memikirkan esok. Mereka pikir semua wanita akan bersujud menyembah mereka, mereka pikir wanita akan mati jika mereka tinggalkan. Bapak remaja seperti ini.
Setibanya di gerbang sekolah, bapak menyuruhku turun. Tampak seorang perempuan cantik, berpenampilan tomboy dengan rambut berantakan menuruni angkutan umum.
“Eh! Kamu lihat disitu? Itu cewe namanya Gita. Aku sudah ngeceng si Gita dari dulu, kamu turun duluan pokoknya jangan sampai kelihatan Gita kalau kita datang bareng. Kelas kita dekat kantin, kamu pasti bisa cari sendiri”
Gita, itu ibu! Betapa cantik ibu ketika SMA. Ibu terlihat begitu sederhana. Sampai sekarang tidak banyak berubah. Ternyata sejak dulu ibu memang tidak memperhatikan penampilan. Tetapi ibu begitu cantik! Aku bagaikan inti bumi dan langit ketujuh jika dibandingkan dengan ibu. She’s just so perfect. Pantas bapak begitu tergila-gila.
Kelas kami masih sepi. Ibu menghampiriku.
“Kamu Arina kan? Aku Gita, semoga kita bisa jadi teman baik ya! Selamat datang di IPA 4.” Sapa ibu.
Bapak memperhatikan kami yang mulai mengobrol akrab. Bapak duduk di meja di depan kami.
“Lagi ngomongin apa kalian? Eh Git, papa baru balik dari Jepang. Kamu bilang ingin punya kimono kan? Nanti aku mintain satu dari jatah kakak. Dia pasti dapat paling sedikit tiga tuh”
“Makasih loh Za, tapi nggak usah. Masa aku ambil jatah kakakmu terus sih, aku ga enak lama-lama. Kemarin papanya Reza pulang dari Prancis juga aku dikasih parfum coba Rin, kan aku jadi malu. Kali ini gak usah, makasih”


Sudah cukup pengamatanku kali ini. Aku ingin kembali ke masa-ku. Ke tahun tempatku hidup. Aku melihat sinar mata ibu ketika menatap bapak. Ibu dan bapak saling mencintai. Tetapi jika terus dilanjutkan, ini tidak akan berhasil. Orangtua bapak tidak meyukai keluarga ibu yang miskin. Lagipula jika ibu menikah dengan bapak, mimpi ibu menjadi penari akan berhenti disini. Bapak pun tidak akan sempat mengubah kepribadiannya. Aku harus hentikan. Sepulang sekolah, aku menghampiri ibu.
“Git, kamu mau anter aku ke pasar cina gak? Tanteku bilang pasar cina disini barang-barangnya oke. Mau cari pajangan buat di kontrakan baru, hehe.” Aku berbicara melantur. Jelas-jelas aku tidak punya tante dan sudah jelas aku tidak mengontrak rumah.
“Oh boleh. Aku antar, dekat kok dari sini. Jalan kaki juga sampai. Nanti aku bantu menawar harga. Aku jago, lho.”
Setibanya di pasar cina, aku menyuruh ibu membeli minuman. Lalu aku bertanya pada seorang tukang sapu. “Bu, apakah kenal dengan dengan penjual liontin semacam ini? Ibu-ibu dengan mata biru, mirip orang gipsi” tukang sapu ini rupanya mengenalnya dan mengantarku ke tempat ibu itu.
Ibu bermata biru yang sama. Tidak lebih muda, tidak lebih tua. Persis seperti yang aku lihat saat pergi bersama Dewa. Ia menatapku manis. “Kamu datang, Arina. Ingin kembali ya, ayo kemari.” Ibu itu menyuruhku mendekat dan memejamkan mata. Ia menggenggam tanganku erat. Ketika aku membuka mata, aku berada di kamarku. Duduk di kursi belajarku. Dengan liontin hijau tosca di genggaman.

Aku jalani hari-hari seperti biasa, sudah kuputuskan sesuatu dalam hati. Aku sudah punya rencana untuk kembali ke masa lalu dan merubah segalanya. Aku  memutuskan untuk tinggal di masa ini satu minggu, dan kembali ke masa lalu. Aku bermanja-manja pada ibu. Aku melakukan segala pekerjaanku dengan baik dan lebih sering memeluk ibu. Aku mengibaratkan ini adalah minggu-minggu terakhirku di dunia.
Aku sering mengundang Dewa main kerumah, aku juga ingin menghabiskan waktu dengannya. Kami mengobrol hingga larut malam. Ibu menyuruh Dewa menginap saja di lantai atas, dan orangtua Dewa mengizinkan. Jadilah kami mengobrol hingga subuh. Kami berjalan mengelilingi kota keesokan harinya. Kami pergi ke sebuah kawasan yang sangat indah. Kami menghabiskan waktu disana, seharian.
“Rin, kita kan sudah lulus SMA. Lo tau kan gue bakal pergi ke Jerman. Gue udah kenal lo sejak kelas 7, I know you so well, inside and out. Gue baru sadar, orang yang bakal gue rindukan di Jerman nanti cuma lo, orang yang paling gue sayang. Lebih daripada teman. Intinya Rin, please ikut gue ke Jerman."
Aku tersentak. Aku tidak pernah menyangka ini perasaan Dewa padaku yang sebenarnya. Aku pun menceritakan pada Dewa tentang semua rencanaku pada masa lalu ibu.
Gue ga bisa ikut, Wa. Sekarang fokus gue untuk mewujudkan mimpi ibu. Gue bakal rubah masa lalu, lo ga akan kehilangan gue kok. Sekarang kita pulang yuk.” Ajakku.


Aku telah kembali ke masa lalu. Aku kini berdiri di sudut kelas. Ibu berlari menghampiriku.
“Arina! Kamu lihat ini Rin?” ibu menyodorkan sebuah kartu undangan besar. Setelah kubaca, itu undangan dari Ketua Pagelaran Seni di Bandung, meminta ibu untuk menjadi penari di komunitas itu dan tampil pada Pagelaran Seni 1992. Ini sering ibu ceritakan padaku. kesempatan emas yang ibu lewatkan, ibu sering bercerita betapa dia begitu menyesal.  “Keren GITA! Kamu harus bersiap-siap, acara ini akan dihadiri Gubernur! Dan kamu akan dapat beasiswa seni tari di Italia!” seruku bersemangat.
“Kamu harus tahu Rin. Ibu gak izinkan aku menari di acara ini. Sebelum meninggal, ayahku berpesan pada ibu, jangan pernah biarkan aku menari lagi.” Ucap Gita pelan, nyaris menangis. Aku memeluk Gita dan menyemangatinya. Ternyata disini aku harus bergerak.
“Gita kamu dengar kata-kataku. Ini mimpimu, bukan mimpi orangtuamu. Kamu yang tentuin kamu bakal jadi apa. Aku jauh lebih tau dari kamu, dan aku serius, aku sudah lihat masa depanmu. Kamu sekarang mulai latihan, dan tampil di acara itu. Penyesalan datang di akhir, kamu bakal menyesal kalo gak ambil kesempatan ini. Hidumu bakal hancur berakhir sebagai pegawai swasta yang dicemooh bos kamu. Gak mau kan? Kamu bakal jadi penari besar, kalau kamu ambil kesempatan ini”
Ini lucu, aku menasihati ibu. Ibu mendengarnya dan ibu setuju untuk menari pada acara itu, tidak peduli apa yang Eni katakan.
Ketika waktu istirahat tiba, bapak menghampiriku dengan lesu.
“Aku disuruh sekolah sama papa. Kamu bayangkan, ke Inggris. Jauh banget dari sini. Padahal rencanaku hanya kuliah bentar dan kerja di bank, gampang lah kan papa punya jabatan yang penting di perbankan negara. Aku tinggal nyelip aja di bank mana yang aku suka, dan aku ada rencana ngelamar Gita setelah lulus SMA.”
Aku menasihati bapak juga. “Za, menurutku, lebih baik kamu ambil kesempatan ini. Kamu tahu berapa ribu orang di negara ini yang ingin kuliah ke luar negeri tapi terhalang biaya? Asal kamu tau, Gita bakal kuliah ke Italia. Dengar aku. Kalau kamu cuma kerja di bank milik papa, kamu ga bakal berkembang. Kamu pergi ke Inggris. Balik lagi ke Indonesia saat kamu sudah jadi lulusan yang luar biasa, cari uang yang banyak. Cari Gita, lamar Gita. Saat itu, kamu dan Gita bakal jadi pasangan yang sempurna. Pasangan sempurna yang dirancang oleh surga.”
Bapak mendengarkan kata-kataku dengan serius. Syukurlah, aku kira bapak akan menertawakanku.


Sepertinya ibu tidak bisa melihatku. Baguslah, biar aku tidak terlihat. Ibu begitu cantik dan menari dengan cantik pula. Betapa bangga aku menjadi seorang Arina. Orang yang telah menjadi sahabat ibu pada masa SMA-nya. Dan juga pernah menjadi anaknya.
Bapak pun terlihat begitu gagah dengan setelan jasnya. Ia menjadi seorang pengusaha ternama. Aku memperhatikan bapak dan ibu duduk berdampingan dalam acara talkshow ini. Betapa sempurna bapak dan ibu kelihatannya, semoga bapak tidak mengulangi kesalahan yang sama.
“Hanya satu orang di dunia ini yang ingin kami ucapkan terimakasih sebesar-besarnya. Arina. Seorang siswi SMA 77 Bandung, ia sekelas dengan kami di kelas 3. Dia yang memaksa aku mengikuti Pagelaran Seni 1992 sehingga aku meraih beasiswa sekolah tari ke Italia dan menjadi seperti sekarang. Motivasi darinya yang mampu membuatku menentang ibu untuk meraih mimpiku. Arina seorang anak baru, hanya muncul 2 minggu di dalam kelasku, dia menghilang entah kemana setelah Pagelaran Seni itu. Arina, dimanapun kamu berada, aku harap kamu melihat acara ini dan menghubungi aku. Ada satu hal yang aku janjikan padamu, anak perempuan kami, akan aku beri nama Arina.”
“Ya, Arina juga yang telah memaksa aku untuk pergi sekolah ke Inggris seperti perintah papa. Jika tidak ada Arina, pasti sekarang aku tetap menjadi anak manja mengandalkan orangtuaku. Hari-hari di Inggris begitu berat, tetapi setiap kali teringat kata-kata Arina pada hari terakhir aku bertemu dengannya, aku pasti jauh lebih bersemangat. Dia orang yang memotivasi aku dengan cara yang tepat, mengiming-imingi aku dengan kata-kata ‘Gita dan kamu akan jadi pasangan sempurna yang dirancang oleh surga, jika kamu pergi ke Inggris dan menjadi orang yang berhasil’ hanya itu yang selalu aku ingat selama kuliahku di Jerman. Aku berharap kami memiliki anak seperti dia. Memotivasi orang lain dan selalu kami banggakan.”
Aku disini ibu, bapak. Kalian hanya tidak bisa melihatku. Syukurlah kini kalian hidup bahagia dengan kisah yang semestinya.


Biar saja aku tidak pernah dilahirkan, asalkan bapak dan ibu menggapai mimpinya, agar mereka hidup bahagia selamanya. Dewa di masa ini baru berusia 11 tahun, baru masuk SMP dan tidak ada aku disana. Dia tidak akan pernah mengenalku dan tidak pula perlu merasa kehilangan aku nantinya. Aku ingin ada di tengah mereka semua, merasa bahagia juga. ingin tetap menjadi anak bapak dan ibu, anak dari pasangan yang berbahagia. Aku tidak bisa lagi memeluk ibu, tidak bisa bertemu bapak. Tetapi apa lagi yang bisa kulakukan selain mengorbankan hidupku? Aku ingin hidup bersama Dewa, tetapi orangtuaku adalah yang terpenting diatas segalanya. Aku bahagia pernah hidup di antara kalian semua. Terimakasih Dewa, liontin kecil pemberianmu merubah hidupku selamanya.

7 komentar:

  1. Catatan untuk Ayu:
    Massachusetts Institute of Technology, Amerika. Tak usah dimiringkan, cukup ditulis kapital di tiap hurup awalnya..

    BalasHapus
  2. Haduhhh... Maaf, De. Salah.. Itu yang catatan untuk Vania...:p

    BalasHapus
  3. Catatan untuk Ayu:

    Penulisan istilah asing jangan lupa dimiringkan.

    BalasHapus
  4. Pantes bingung bu hehe, okedeh bu ;)

    BalasHapus
  5. Yu, pernah nonton film "Secret: The Secret That Cannot Be Told" cerita tentang kunjungan lintas masa.. :)

    BalasHapus
  6. Kata "Tentuin" yang tidak bakunya bagian apa coba? ^____^

    BalasHapus
  7. AYU! parah lah ide ceritanya hahahaha gila itu Dewa siapa?? *heyah* Keren lah ceritanya aaaaaaaaa aku ngefans ama ayu!

    BalasHapus